Dilihat 0 Kali

06_991_1000766059.jpg

Senin, 03 November 2025 10:04:00 WIB

Fakultas Sains dan Teknologi UIN Sunan Kalijaga Gelar Diskusi Ilmiah Internasional: Mendorong Harmonisasi Standar Halal Global


Yogyakarta, 30 Oktober 2025 – Fakultas Sains dan Teknologi (FST) UIN Sunan Kalijaga sukses menyelenggarakan Diskusi Ilmiah Internasional bertajuk “Standar Halal Global dan Tantangan Sertifikasi Halal: Meninjau Kembali Standar dengan Memperhatikan Realitas Lokal.” Acara ini menyoroti urgensi harmonisasi standar halal global di tengah meningkatnya potensi ekonomi halal Indonesia dan tantangan perdagangan internasional.

Indonesia merupakan pasar halal terbesar di dunia dengan nilai konsumsi diproyeksikan mencapai USD 281,6 miliar pada 2025. Laporan SGIE (2023) mencatat impor produk halal meningkat dari USD 26 juta (2021) menjadi USD 29,2 juta (2023). Namun, perbedaan standar halal antarnegara telah menimbulkan berbagai sengketa global, mulai dari gugatan Brasil di WTO (2016), penarikan produk mie Samyang (2019), hingga protes Amerika Serikat terkait ketatnya syarat sertifikasi halal (2025). Sementara itu, Jepang sebagai negara minoritas Muslim tidak memiliki standar halal nasional, sehingga sertifikasi diserahkan kepada pelaku industri.

Acara dibuka oleh Prof. Dr. Khurul Wardati, M.Si., Dekan FST UIN Sunan Kalijaga, dan dipandu oleh pemantik diskusi Dr. Imelda Fajriati, M.Si., Ketua Halal Center UIN Sunan Kalijaga, serta MC Priyagung Dhemi Widiakongko, M.Sc. dari Program Studi Kimia FST UIN Sunan Kalijaga.

Dalam sambutannya, Prof. Dr. Khurul Wardati, M.Si. menegaskan:

"Tema kita hari ini menjadi sangat relevan, bagaimana meninjau kembali standar halal agar tidak hanya memenuhi tuntutan global saja, tetapi juga tetap menghargai perbedaan atau menghargai realitas yang ada, dan juga tetap mengunggulkan kearifan lokal."

Prof. Satomi Ohgata dari Kyushu International University, pakar riset halal yang memimpin penelitian multiyears (2022–2026), menjelaskan tantangan penerapan standar halal global di negara minoritas Muslim seperti Jepang. Ia menyoroti kesulitan pemisahan jalur produksi dan aturan bahan berbasis alkohol, tingginya biaya sertifikasi, serta kompleksitas budaya dan logistik. Prof. Satomi menekankan perlunya standar halal yang adaptif, dan sensitif terhadap konteks lokal, tanpa mengurangi integritas kehalalan.

Prof. Satomi menyarankan penerapan “standar halal dasar”, berfokus pada larangan bahan haram dan pencegahan kontaminasi, serta mengakomodasi kondisi budaya dan ekonomi lokal. Terkait standar halal dasar dan menyoroti line produksi,  ini beliau menyampaikan :

"Saya kira kalau standar dasarnya tidak susah, tapi kalau sudah diimplementasikan sekarang ini, yang di Malaysia, yang di Indonesia, itu sudah terlalu rumit. “

Beliau juga menyampaikan:

“Jadi kalau mau menuntut sampai line produksi dedicated halal itu terlalu tinggi... Jadi terlalu tinggi egoismenya menurut saya ya. Dan itu tidak diajarkan oleh Al-Qur'an dan hadis."

Diskusi berlangsung sangat interaktif yang melibatkan akademisi, praktisi, dan pejabat menyoroti kompleksitas standar halal global dan lokal. Peserta diskusi menyoroti kelayakan standar halal independen di negara minoritas Muslim (seperti Jepang), tantangan harmonisasi standar global dengan budaya lokal (Bali), dan aturan sertifikasi yang terkesan kaku dari negara mayoritas Muslim di konteks non-Muslim.

Fakultas Sains dan Teknologi UIN Sunan Kalijaga berharap diskusi ini dapat menghasilkan rekomendasi konkret bagi pemerintah, akademisi, dan industri untuk membangun sistem harmonisasi standar halal global yang adil dan adaptif.